Sunday 9 April 2017

Fenomena Lidah di Depan Akal

Fenomena Lidah didepan Akal


Assalamu’alaykum warrahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim.
Ketika lidah yang lembut dan kenyal itu tak lagi dapat menahan beban tuannya, maka lahirlah kata-kata tanpa makna yang berserakan keluar dari mulut, bagian dari pelampiasan hati yang keruh. Ribuan kata itu tersangkut di gendang telinga orang-orang disekitarnya, mengendap, dan kerap kali menumbuhkan bibit yang ikut meracuni hati bersih pendengarnya. Umpatan, sumpah serapah, makian dan kawan-kawannya berbondong keluar dan bersarang di telinga banyak orang, tak sadar jika satu dua umpatan, sumpah serapah dan makian itu ada yang menjelma menjadi sebuah sembilu tak kasat mata, yang mana mampu melukai telinga bahkan hati pendengarnya. Bahkan dalam beberapa kejadian, wujud sembilu itu tak melulu berupa sumpah serapah, atau makian dan kawan-kawannya. Wujudnya dapat berupa kata-kata yang sebenarnya baik, namun karena beberapa hal semisal, mood, situasi dan nada bicara bisa juga melukai orang lain.
            Manusia, terutama penulis, seringkali lupa untuk berkaca, lupa untuk bermuhasabah, merasa tidak perlu untuk mengoreksi diri sendiri. Merasa diri adalah yang paling benar, merasa jiwa adalah yang paling suci, dan merasa hati adalah yang paling putih. Tenggelam dalam ujub yang membanggakan amal kebaikan diri. Tersenyum jumawa saat pujian manusia datang menghampiri. Lupa dengan segunung dosa yang masih Allah tutupkan aib-aibnya dari saudara-saudaranya. Lupa bahwa Allah Maha Mendengar segala isi hati, yang dilisankan secara terang maupun yang tersembunyi.
            Zaman ini, saat kebebasan bersuara menjadi hak yang dimiliki tiap orang, menjadi tameng saat pendapatnya mendapat kecaman, menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain, menjadi rudal untuk ‘membunuh’ sesama, kata maaf hanya menjadi pemanis bibir yang diobral murah. Kasus sebesar apapun, senista apapun, sekeji apapun itu yang disyiarkan lewat media maupun tatap muka dapat dengan mudah tertimbun dengan pemberitaan lain hanya dengan kata maaf yang disuratkan, hanya dengan menjual airmata dan rasa iba, lantas kembali bergelut menyiapkan segudang diksi baru untuk menyerang yang lain. Mereka – mungkin juga penulis –   lupa dengan hakikat ‘maaf’ yang sebenarnya. Ini zaman dimana orang menulis atau berbicara sesuatu untuk menciptakan sebuah peristiwa, beda dengan zaman Rasulullah saw., dimana menulis atau berbicara bertujuan untuk mengabarkan sebuah peristiwa.
            Meski begitu, ternyata banyak juga manusia yang masih memelihara rasa angkuh, mengembang biakkan rasa congkak pun tinggi hati untuk berucap maaf. Lupa dengan kordratnya manusia sebagai tempat kesalahan dan kekhilafan bernaung. Lucunya zaman sekarang adalah ada segelintir orang yang mudah mengobral maaf dan segelintir lainnya merasa tidak perlu, karena beredar diksi baru yang dijadikan dalih untuk tidak minta maaf. Apa diksi itu? Jawabannya : “Ah kamu kok baper sih? Jangan baper kalik. Aku cuma bercanda”. Pernah mengucapnya? Ya, penulis juga pernah, atau bahkan tanpa disadari tabiat buruk itu masih lestari dalam diri.
            Astaghfirullah ‘aladzim...
            Mari sama-sama resapi salah satu firman Allah dalam Qs. Al – ‘Isra : 36 di bawah ini
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Dalam ayat tersebut Allah mengingatkan kita untuk tidak sembarang membicarakan suatu perkara tanpa tahu ilmunya. Karena kelak, saat hari pertanggungjawaban itu tiba, semua indera kita kecuali mulut akan bersaksi didepan Allah. Mereka akan mengadukan sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, tanpa bisa kita bantah, tanpa bisa kita sanggah, apalagi menyiapkan pembelaan. Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala halaman 47, bahwasanya :
“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada menarik perkataan yang terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”
            Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang dicintaiNya dan diridhoiNya. Aamiin Allahuma aamiin...
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari, Muslim)

Annisa Aulia Hawari-XI MIA 2

Referensi :
Muslimah.or.id

Almanhaj.or.id

0 komentar:

Post a Comment