Tuesday 14 July 2020

Mutaba'ah Yaumiyah dan Sifat Riya' (PART 1)



Assalamu'alaykum, Sobat Fillah! Kali ini kita bakal bahas masalah dan keluhan tentang masalah riya’ yang dikeluhkan dalam masalah mengisi MY atau Tamiya. Akan tetapi, bahasan kali ini bisa juga dipakai buat ibadah yang lebih luas, so check this out!

Apa itu Riya’?

Riya’ menurut Bahasa yaitu Ar-riya’ (الرياء) berasal dari kata الرؤية /ru’yah, yang artinya menampakkan.
Riya’ menurut Istilah yaitu melakukan ibadah dengan niat supaya ingin dipuji manusia, dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”.
Menurut Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan.
Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya.

Jenis-Jenis Riya’

Riya’ dibagi kedalam dua tingkatan:
  1. Riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia
  2. Riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”. 
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Perbuatan riya bila dilihat dari sisi amal/citra yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat dibagi atas 5 kategori, yaitu:

  1.  Riya’ dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, misalnya memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka banyak puasa dan shalat tahajud
  2. Riya’ dalam penampilan tubuh dan pakaian, misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin sholat.
  3. Riya’ dalam perkataan, misalnya orang yang selalu bicara keagamaan agar disangka ahli agama.
  4. Riya’ dalam perbuatan, misalnya orang yang sengaja memperbanyak shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi berhaji/umroh untuk memperbaiki citranya di masyarakat.
  5. Riya’ dalam persahabatan, misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau pergi agar disangka ia termasuk orang alim.

Jangan biarkan pahala ibadah-ibadah yang telah sulit kita kumpulkan hilang tanpa arti dan berbuah keburukan lantaran masih ada sifat riya’ dalam hati kita. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya berikut.

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)
Hmm, jadi Mutaba'ah yaumiyah itu Riya dong? Sebentar dulu brader… Mari kita simak kelanjutannya!
Eitss tunggu dulu, karena kelanjutannya akan dibahas di postingan selanjutnya. Sekian untuk postingan yang sekarang, kita akan lanjutkan insya Allah di hari berikutnya.

Wassalamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh

Mutaba'ah Yaumiyah dan Sifat Riya' (PART 2)



Assalaamu'alaykum Kawan Rohis! 
Semoga teman-teman selalu dalam lindungan Allah Ta'ala ya! Kali ini kita akan kupas tuntas, apakah mengisi Mutaba'ah yaumiyah termasuk dalam perbuatan riya'? Yuk, simak penjelasannya sebagai berikut.

Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab shahihnya berkata, Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (bersabda),

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْيَمِينُهُ
“Dan seseorang yang bershadaqah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya”

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).

Ath -Thabarani meriwayatkan dalam “Al-Kabir (1018)”, dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن صدقة السر تطفئ غضب الرب
“Sesungguhnya shadaqah  yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi memadamkan murka Ar-Rabb (Allah)” (Syaikh Al-Albani menshahihkan Hadits ini dalam “Ash-Shahihah 1908”).

Imam At-Tirmidzi (2919) meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ ، وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّبِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara keras seperti orang yang menampakkan shadaqah, dan orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara pelan seperti orang yang bershadaqoh secara sembunyi-sembunyi”.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam Shahih At-Tirmidzi. Imam At-Tirmidzi berkata,“makna Hadits ini adalah orang yang memelankan suara dalam membaca Al-Qur`an lebih utama daripada orang yang mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur`an karena shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari shadaqah yang dilakukan secara terang-terangan, demikian kesimpulan Ulama.”

Ulama menjelaskan maksud hal itu adalah agar seseorang yang melakukan amal shalih aman dari penyakit ‘ujub (membanggakan amal) karena orang yang menyembunyikan amal tidak terlalu khawatir terhadap serangan ‘ujub, beda jika ia menampakannya, ketika itu penyakit tersebut lebih dikhawatirkan menyerangnya. Namun, selama ada maslahat syar’i dalam menampakkan amal shalih, seperti agar dicontoh oleh orang lain dan mendorong mereka untuk melakukan kebaikan, serta bersih dari riya` dan mencari popularitas, maka tidak mengapa dikeraskan/dinampakkan (amal shalih tersebut).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
‘Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian’ (Al-Baqarah: 271).
Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa menyembunyikan shadaqah lebih utama daripada menampakkannya, karena lebih jauh dari riya` kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu orang-orang mengikutinya,maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama, berdasarkan ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/701).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Fath 11/337 :
“Terkadang disunnahkan menampakkannya -yaitu amal shalih- bagi orang yang menjadi panutan. Jika tujuannya untuk ditiru dan hal itu diukur sesuai dengan kebutuhan. Ibnu ‘Abdis Salam berkata, ‘Dikecualikan dari hukum sunnahnya menyembunyikan amal adalah bagi orang yang menampakkannya dengan niat agar dicontoh atau agar bisa diambil manfaatnya, seperti penulisan masalah ilmiyyah. Ath-Thabari, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan sekelompok Salafush Shalih berkata, ‘shalat malam di masjid-masjid mereka dan menampakkan amal shalih mereka dengan niat agar dicontoh.’ Beliau berkata, ‘Barangsiapa menjadi imam (pemimpin) yang perbuatannya menjadi tauladan, iapun mengetahui hak Allah atas dirinya, dan mampu menaklukkan syetannya, maka bagi dia, sama kedudukannya antara amal yang ditampakkan dengan yang disembunyikan karena kebaikan niatnya. Adapun bagi orang yang bertipe kebalikannya, maka menyembunyikan amal lebih utama baginya. Atas prinsip inilah Salafush Shalih melakukan amal shalih”.
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata, “Di dalam menyembunyikan amal shalih ada faidah keikhlasan dan selamat dari riya`, dan di dalam menampakkannya ada faidah menjadi suri tauladan dan penyemangat manusia untuk berbuat baik, akan tetapi terancam serangan riya`, dan Allah memuji kedua sikap ini, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).

Namun Dia memuji sikap menyembunyikan amal karena bisa selamat dari perusak amal yang besar tersebut, sedangkan sedikit orang yang bisa selamat darinya. Terkadang sikap menampakkan amal adalah sesuatu yang terpuji, ketika memang tidak bisa disembunyikan, seperti jihad, haji, shalat jum’at, dan shalat jama’ah. Maka bentuk menampakkan amal-amal tersebut adalah dengan bersegera melakukannya dan menampakkan keinginan melakukannya dengan tujuan menyemangati (orang lain) dengan syarat tidak terkotori kotoran riya’.

Selain itu, berkata Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah,
“Termasuk kesempurnaan ikhlas adalah seseorang bersemangat agar tidak ada orang yang melihat ibadahnya dan agar ibadahnya kepada Rabbnya tidak diketahui manusia, kecuali jika menampakkannya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin atau bagi Islam, seperti jika seseorang itu statusnya sebagai pemimpin yang diikuti dan ia ingin menunjukkan ibadahnya kepada manusia agar mereka mengambilnya sebagai contoh bagaimana melakukan ibadah tersebut, atau ia menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dicontoh oleh teman, pengiring, dan sahabat-sahabatnya, maka dalam hal ini ada kebaikan. Maslahat-maslahat yang memang layak untuk dipilih tersebut, terkadang lebih utama dan lebih tinggi dari maslahat menyembunyikan amal, oleh karena itulah Allah ‘Azza Wa Jalla memuji orang-orang yang berinfak dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan juga. Jika memang sembunyi-sembunyi itu lebih maslahat, lebih bermanfaat bagi hati, dan lebih khusyu’ serta  lebih bisa kembali kepada Allah, maka mereka menyembunyikannya, sedangkan jika menampakkan amal ada maslahatnya bagi Islam dalam bentuk nampak semarak syariat-Nya (diterapkan) dan bagi kaum muslimin bisa mencontohnya, maka mereka akan menampakannya. Seorang mukmin hendaklah melihat apa yang paling bermanfaat (baginya), kapan saja sesuatu itu lebih bermaslahat dan lebih bermanfaat pengaruhnya dalam peribadatan, maka hal itu lebih sempurna dan lebih utama” (Majmu’ Fatawa dan Risalah Ibnul ‘Utsaimin: 3/165).

Jadi kita bisa mengambil kesimpulan, selama suatu amal shalih itu bersih dari kotoran-kotoran tersebut dan menampakkanya tidak sampai mengganggu orang lain, serta memang mendorong manusia untuk mencontoh dan mengikuti perbuatan yang baik tersebut hingga mereka pun bersegera melakukannya –dan hal ini disebabkan karena kedudukan pelakunya adalah sebagai ulama atau orang-orang yang shalih yang mampu menggerakkan mereka untuk mencontohnya, maka sikap menampakkan amal ketika itu adalah sesuatu yang lebih utama karena hal itu merupakan kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama pewaris mereka, sedangkan tidaklah mereka dikhususkan kecuali dengan sesuatu yang paling sempurna, dan karena juga manfaatnya meluas untuk orang lain, serta berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ يَعْمَلُ بِهَا إلَى يَوْمِالْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memulai mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya,maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat. Jika tidak terpenuhi syarat tersebut di atas,maka sikap menyembunyikan amal itu lebih utama” (Az-Zawajir : 1/118).
Jadi, ketika hal tersebut lebih bermaslahat bagi kaum muslimin dan tujuannya agar bisa menjadi tauladan bagi yang lain kita menampakannya, termasuk mutaba’ah yaumiyah karena tujuannya disini ialah untuk menjadi pendorong ibadah. Riya itu dari dari hati atau bisa dilihat dibagian pengertian menurut istilah bahwa tergantung dari niat kita.

“Mungkin ketika kita awal beramal 100 dolar, akan mucul Riya dihati, tapi ketika kita melakukannya berulang lama kelamaan hal tersebut akan berubah menjadi ikhlas karena pengulangan atau habits, kebiasaan. Akan tetapi jika kita tidak memulai kapan kita akan berbuat?”
-Ust. Felix Siaw-

"Menolak untuk melakukan sesuatu yang baik karena takut dianggap sombong adalah kesombongan." -Mario Teguh-     

Yap musuh islam saat ini sudah show off kehebatan mereka dengan hal-hal yang tentu kurang baik bagi pemuda-pemudi islam yang merusak moral, pikiran, bahkan perilaku dan mindset. Jika kita hanya diam dan berdalih tidak mau sombong atau riya’ untuk memberi tauladan, bagaimana pertanggung jawaban kita kelak ketika Allah Ta’ala menannyakan tentang ilmu dan pengetahuan tentang Islam yang telah diberikan kepada kita?
Apalagi mutaba'ah yaumiyah adalah satu produk yang berada dalam sistem, bukan individu yang show off, dimana terdapat seorang pemimpin yang disana harus ditaati
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِمِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]: 59)


Demikian pembahasan tentang Mutaba'ah Yaumiyah dan hubungannya dengan sifat riya'. Semoga teman-teman bisa mengambil hikmahnya, dan selalu meniatkan segala sesuatunya karena Allah semata.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

Menyikapi Wabah Penyakit Dalam Islam



Assalaamu'alaykum Kawan!
Akhir-akhir ini, dunia sedang dibuat khawatir. Bukan karena suatu hal yang besar, namun hanya karena sesuatu yang bahkan tak dapat dilihat dengan kasat mata oleh manusia. Yap, virus corona namanya. Wabah virus corona telah meresahkan masyarakat dunia. Bahkan, sudah menjangkiti orang-orang di berbagai negara, sehingga disebut sebagai epidemi global atau pandemik.
Menyikapi pandemi ini, sebagai seorang muslim hendaklah kita kembali kepada ajaran-ajaran agama kita. Dan berikut ini beberapa kiat-kiat yang dapat kita tempuh sebagai seorang muslim dalam menyikapi musibah wabah penyakit.

1. Senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala. Virus maupun bakteri apapun, termasuk virus corona yang sekarang ramai diperbincangkan dan yang lainnya adalah makhluk sebagaimana makhluk-makhluk Allah lainnya, dan ia tidaklah bergerak kecuali atas perintah dan izin Allah Ta’ala yang menciptakannya. Allah Ta’ala berfirman:

(فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ)
Maka Allah adalah sebaik-baiknya penjaga dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang”. (QS Yusuf : 64).

Berlindung kepada Allah Ta’ala ini bisa dilakukan dengan senantiasa membaca doa-doa perlindungan yang bersumber dari Al-Qur’an seperti surat Al-Falaq dan surat An-Nas ataupun dari doa-doa yang bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, seperti doa yang dianjurkan untuk dibaca di pagi dan petang hari:

(بِسمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهَ شَيءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَمَاءِ وَهُوَ السَمِيعُ العَلِيم)
Dengan nama Allah yang tidak membahayakan dengan namaNya segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, dan Ia lah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

2. Berikhtiar dengan melakukan pencegahan. Di samping berlindung kepada Allah, tentunya sebagai seorang manusia kita juga harus berikhtiar dengan melakukan usaha-usaha pencegahan agar virus ini tidak menular kepada diri kita atau kepada orang-orang yang kita sayangi. Ikhtiar ini bisa dilakukan dalam skala individu maupun skala berjamaah.
Ikhtiar dalam skala individu dilakukan dengan mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh para ahli dalam bidang ini, seperti rutin menjaga kesehatan, rutin mencuci tangan, rutin memakan dari makanan-makanan yang baik, rutin memakai masker dikeramaian, serta menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila tidak diperlukan.
Adapun ikhtiar dalam skala berjamaah, maka bisa dilakukan dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan agar virus ini tidak merambah ke skala yang lebih luas lagi seperti melakukan isolasi. Dan ikhtiar ini hendaklah dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal ini berdasarkan makna hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi:

(إذا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأرْضٍ، فلاَ تَقْدمُوا عَلَيْهِ، وإذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلا تخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ)
“Apabila kalian mendengar tentangnya (wabah penyakit) di sebuah tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, dan bila kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar daripadanya sebagai bentuk lari daripadanya”. (HR.Bukhari dan Muslim)

3. Bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah melakukan ikthtiar-ikhtiar yang ada, maka pada akhirnya semua kita serahkan kepada Allah. Kita tawakkalkan diri kita kepadaNya. Karena hidup dan mati kita sebagai seorang hamba semua berada di tanganNya. Allah berfirman:

(قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ)
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. (QS Al-An’am, Ayat 162)


4. Yakin kepada Allah Ta’ala akan kesembuhan. Bila ada di antara kita yang ditakdirkan oleh Allah tertimpa penyakit ini, maka yakinlah bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penyembuh karena Ia lah Tuhan Yang Maha Penyembuh. Dan yakinlah juga bahwa tidak ada penyakit yang Allah turunkan, kecuali ada juga obat yang diturunkan bersamanya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ خَلَقَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا ) رواه أحمد (12186) وحسنه الألباني
Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit maka ia menciptakan penyembuhnya, maka berobatlah”. (HR. Ahmad (no:12186) dan dihasankan oleh Imam Albani).

Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam menyikapi wabah penyakit ini, dan yang terakhir, mari kita berdoa kepada Allah swt. agar supaya Ia senantiasa memberi perlindungan-Nya kepada kita semua. Mari kita juga berdoa kepada Allah swt. agar Ia senantiasa melindungi negeri kita dan juga negeri-negeri kaum muslimin lainnya. Dan tak lupa juga kita sisipkan doa-doa terbaik kita kepada mereka saudara-saudara kita yang sedang diuji dengan virus ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan yang terbaik untuk kita semua.
Wassalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh

Kisah Shalahuddin Al-Ayyubi, Sang Pembebas Jerusalem


Assalaamu'alaykum Sobat Fillah!
Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau Saladin.
ASAL DAN MASA PERTUMBUHANNYA

Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), ia berasal dari suku Kurdi. Beliau lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Namun karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya.
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar berkuda, memakai senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
DIANGKAT MENJADI MENTERI DI MESIR
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimiyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Saat itu, Shalahuddin al-Ayyubi pernah berkata, “Ketika Allah memberiku tanah Mesir, aku yakin bahwa Dia juga akan memberikan Palestina kepadaku.”
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir.
PERSIAPAN MEMBEBASKAN JERUSALEM
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkan dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh. Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30.000 Pasukan Salib dan menawan 30.000 lainnya.
PEMBEBASAN JERUSALEM
Setelah menguras energi di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar, tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka -insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, mereka tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubbatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!”
Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.
Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. 
Semoga kisah ini dapat menginspirasi kita semua.
Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh