Monday 24 August 2020

Nasionalisme dan Kecintaan Pada Tanah Air

 Bertema Indonesia Maju, Logo Peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI ...

Assalaamu’alaykum teman-teman!

Pada 17 Agustus yang lalu, kita telah merayakan Dirgahayu Republik Indonesia ke-75 ya, teman-teman. Tentunya kita sudah sering mendengar kata ‘nasionalisme’ dan ‘cinta tanah air’ bukan? Nasionalisme dan cinta tanah air ternyata merupakan dua hal yang cukup berbeda lho, teman-teman. Apa saja perbedaannya? Mari kita simak penjelasan dibawah ini, yaa.

Pada dasarnya, cinta tanah air sama halnya cinta jiwa dan harta. Sifat ini merupakan tabiat dan fitrah manusia. Seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin. Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُ مِّنْهُمُْ

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66).

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.

Bahkan di dalam Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi kita untuk jihad membela negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika negeri tersebut memiliki keistimewaan, maka mencintainya adalah sebuah ibadah seperti Mekkah dan Madinah.

Namun jika cinta negeri bertentangan dengan perintah agama seperti hijrah dan jihad, sehingga dia lebih mendahulukan cinta negeri daripada agama maka hukumnya haram. Allah mengancam orang-orang yang tidak hijrah karena lebih mencintai kampung halaman mereka.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 97-98).

Walau cinta tanah air tidak tercela, namun tidak boleh kita membuat dan berpegang dengan hadits palsu:

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

“Cinta tanah air termasuk iman”.

Al Mulla Al Qari berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits”.

Musuh-musuh Islam ingin menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun.

Dan agar kecintaan negeri kita tidak sia-sia tanpa pahala, maka hendaknya kita menata niat dalam kecintaan dan pembelaan kita kepada negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah, untuk Islam, bukan sekedar untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.

Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata:

“Apabila kita perang hanya untuk membela negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela negara mereka. Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita.

Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita.

Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits ‘cinta negeri termasuk keimanan’ maka ini adalah dusta. Cinta tanah air, apabila karena negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena terdapat umat Islamnya yang merupakan saudara kita seagama, tidak ada bedanya apakah negara kelahiran kita atau Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena negara Islam.

Jadi, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela negara kita karena negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara saja”.

Lalu, bagaimana dengan nasionalisme? Nasionalisme berasal dari kata nasional atau nation (bahasa Inggris) yang artinya bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang diam di wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemauan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita dan tujuan. Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan semangat kebangsaan, yaitu semangat cinta kepada bangsa dan negara. Suatu paham yang menyadarkan harga diri suatu kelompok masyarakat sebagai suatu bangsa.

Dengan kata lain, nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi seseorang ditujukan kepada negara kebangsaannya. Lahirnya paham nasionalisme diikuti dengan terbentuknya negara-negara kebangsaan yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi dan agama. Akan tetapi paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan.


Sikap nasionalisme memang penting, jauh dari itu wajib bagi umat Islam mengikuti petunjuk Al- Qur’an adalah mutlak. Maka dari itu Islam mempunyai pandangan sendiri tentang nasionalisme. Mungkinkah kita menjadi muslim taat, sekaligus nasionalis sejati pada saat yang bersamaan? Jawaban ini sangat tergantung kepada definisi, persepsi dan penghayatan kita atas makna nasionalisme itu sendiri. Karena dari sinilah al-Maududi, seorang tokoh Islam Pakistan (1903-1979), misalnya, berbeda pendapat dengan tokoh pendiri IM (Ikhwan al-Muslimin), Hasan al-Bana (1906-1949). Al-Bana dalam Risalah Al-Mu’tamar al-Khamis nya, mengatakan, “Relasi antara Islam dan Nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau kontradiktif. Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti anti-nasionalisme”. Sebaliknya al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam, karena ia adalah pemikiran orang barat dan hanya membuat pecah-belah umat Islam.

Nasionalisme dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa bukan hanya tidak bertentangan, tapi juga bagian tak terpisahkan dari Islam. Artinya, kita bisa menjadi muslim taat, plus seorang nasionalis sejati. Para ilmuwan muslim memberikan ruh Islam di dalamnya sehingga nasionalisme itu benar-benar dapat selaras dengan Islam. Sebagaimana Dr. Zaid Abdul Karim dalam bukunya Hubbul Wathan, menulis: “Nasionalisme adalah tanggung jawab individu terhadap negaranya yang bersesuaian dengan ajaran Islam”. Definisi ini meniscayakan nasionalisme tidak boleh melampaui ikatan agama. Dan nasionalisme harus dalam koridor dan bingkai agama. Seperti halnya dalil dibawah ini:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan…” (QS. al Baqarah: 84-85).

“Sungguh engkau, Makkah, adalah negeri paling indah dan paling aku cintai. Kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selainmu” (HR. Tirmidzi dan al-Hakim).

Dari beberapa ayat dan hadis di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kecintaan dan loyalitas terhadap agama haruslah berada di atas kecintaan dan loyalitas terhadap negara. Tetapi pada tataran praktis, nasionalisme dan kecintaan terhadap negara tidak hanya selaras dengan cita-cita agama, bahkan menjadi wujud serta implementasi dari loyalitas dan kecintaan terhadap agama.

Pernyataan lain tentang Islam dan nasionalisme Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme, karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan yang universal. Selain itu, karena semangat nasionalisme berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Ali Muhammad Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya, saat nasionalisme bangkit berarti kekalahan Islam (Hermawan, 2007).

Dari penjelasan diatas memang sebaiknya umat Islam sebagai orang yang beragama dan sebagai warga negara Indonesia harus memiliki sikap yang baik dalam menyikapi beberapa hal yang kondtradiktif antara nasionalisme dan Islam. Dalam Q.S Al-Maidah: 51 yang artinya:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Dalam ayat tersebut ummat Islam perlu memperhatikan agama seorang yang akan memimpinnya dan sebagai warga negara Indonesia dengan sistem demokrasi. Hal tersebut tidak menjadi masalah maka ketika umat Islam lebih mementingkan atau mendahulukan dalil dari Al-Qur’an, hal tersebut bukanlah suatu sikap antinasionalis. Tetapi itu adalah suatu prinsip yang berhak dipegang oleh pemeluknya, sama halnya ketika di Bali masyarakatnya mayoritas Hindu jika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Hindu maka itu adalah prinsip mereka. Hal itu bukan hal anti-nasionalis. Contoh lain Papua yang mayoritas warganya beragama Nasrani, maka ketika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Nasrani maka itu juga hak dan prinsip mereka dan bukan sikap anti-nasionalis.

Kesimpulan

Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan itu masyarakat suatu bangsa akan merasakan adanya kesetiaan yang mendalam kepada bangsa itu sendiriNasionalisme diperlukan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pada umat Islam, akan tetapi jika ada hal yang kontradiktif antara sikap nasionalisme atau toleransi dengan ajaran Islam itu sendiri maka agama harus didahulukan dengan tidak mengartikan anti-nasionalisme.

Wallahu A’lam Bisshawab.

Wassalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh.

Sifat yang Menghancurkan Amal


Assalaamu'alaykum ikhwah fillah!

Dalam kehidupan kita sehari-hari, pastinya kita ingin memperbanyak amalan kebaikan. Tentunya, agar kita termasuk dalam golongan orang-orang diridhoi-Nya. Selain memperbanyak amal, kita harus menjaga agar amal-amal yang telah kita kumpulkan tidak hancur dan menjadi sia-sia. Salah satu diantara lubang penghancur amal adalah sifat sombong atau angkuh. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: "لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذَرَّة من كِبْر. فقال رجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسناً، ونعله حسناً؟ فقال: إن الله جميل يحب الجمال. الكبْر: بَطْر الحق، وغَمْط الناس" رواه مسلم

Dari Ibnu Mas’ud R.A berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan masuk kedalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun seberat biji sawi.’ Lalu ada yang bertanya: ‘sesungguhnya seseorang itu sangat senang kepada baju dan sandal yang bagus?’ maka beliau berkata: ‘sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia’". (HR Muslim)

Penjelasan dari hadits ini:

Allah تعالى telah mengabarkan bahwa neraka adalah tempat kembali bagi orang-orang yang sombong. Dan pada hadits ini juga “لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذَرَّة من كِبْر” (tidak akan masuk surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun seberat biji sawi) menerangkan bahwa sombong mendorong seseorang masuk kedalam neraka, bahkan sebagai penghalang dia masuk kedalam surga.

Bila kita riya', maka amalan kita tidak diterima di sisi-Nya. Namun, apabila kita sombong dengan amalan-amalan kita, maka amalan-amalan tersebut tidak akan mengantarkan kita ke syurga. Orang yang bermaksiat, lalu melakukan taubatan nasuha, bisa jadi lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ahli ibadah yang sombong. Hal ini tergambar pada diri Iblis laknatullah. Iblis lebih dulu tinggal di surga, dan juga lebih mengenal dan lebih dulu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun ketika Nabi Adam a.s diciptakan, Iblis menunjukkan sifat 'ujub, sombong, dan dengkinya. Sifat 'ujub nya karena ia merasa lebih mulia daripada Nabi Adam a.s. Sifat sombongnya karena meremehkan, dan sifat dengkinya tidak rela bersujud kepada Adam a.s. Hal ini salah satunya dikisahkan pada Q.S Al-A'raf: 11-12 berikut.

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ 
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.


قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ 
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".

Diantara ciri-ciri takabur, yaitu mendustakan kebenaran dan menganggap remeh orang lain. Hal ini tercermin seperti pada diri Iblis, dimana ia mendustakan perintah Allah swt. untuk bersujud kepada Adam a.s dan menganggap remeh Nabi Adam a.s karena penciptaannya yang berasal dari tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia sudah seharusnya kita menghindari sikap sombong, riya’, dengki, dan hal-hal buruk lainnya agar kita dapat menjaga amalan-amalan yang telah kita raih dengan bersusah payah dengan baik.

Wallahu A'lam.

Wassalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh

Monday 3 August 2020

Agar Kita Selalu Berprasangka Baik

Assalaamu'alaykum ikhwah fillah!

Segala isi hati kita dapat bernilai ibadah maupun maksiat kepada Allah swt. Sebagian besar maksiat jasmani atau badan diawali dari maksiat hati. Jika hati sudah lalai dari mengingat Allah swt. maka kemudian ia akan mengikuti hawa nafsu, yang membawa kepada perbuatan yang melampaui batas. Dalil naqlinya ada pada Q.S Al-Kahfi: 28

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati         batas.”

Maka isilah hati kita dengan niat-niat yang baik. Lantas bagaimana dengan prasangka yang kita miliki? Prasangka-prasangka akan terkait dengan kebersihan hati kita. Seperti statement Imam Syafi’i berikut.

"Barangsiapa menginginkan hatinya menjadi suci, maka hendaklah dia memperbagus prasangkanya kepada sesama manusia"

Salah satu yang dapat mengotori hati kita (manusia) yaitu mendengar cerita-cerita tentang keburukan orang lain. Dampaknya berbahaya, diantaranya kita menjadi meremehkan orang lain, menganggap rendah, dan mendapat dosa ghibah. Oleh karena itu, jika kita mendengar atau membicarakan keburukan orang lain, maka segera memohon ampun kepada Allah swt. dengan beristighfar.

Cara berprasangka baik terhadap orang lain menurut Al-Qur'an, yaitu dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih dahulu. Seperti yang disebutkan Allah swt. dalam Q.S An-Nur ayat 11, seperti berikut.

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ ۚ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang       besar.”

Dibalik ayat ini terdapat kisah menarik ketika Aisyah radhiyallahu 'anha dituduh berselingkuh. Lengkapnya kisah dalam hadits sebagai berikut.

Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, “Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka, siapa saja di antara mereka yang keluar undiannya, maka dialah yang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau ikuti. Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) lalu berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali dari perang tersebut.

Ketika telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan keperluanku. Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba dadaku, ternyata kalungku dari merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi untuk mencari kalungku, sementara rombongan yang tadi membawaku telah siap berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan memberangkatkannya di atas untaku yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa aku berada di dalamnya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Pada masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup yang ringan ketika mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa mereka akan merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”

“Ketika sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di belakang para tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam sosok seseorang, lantas ia menghampiriku. Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia pernah melihatku sebelum ayat hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya (bacaan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun dari mulutnya selain ucapan istirja’ sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu ia memijak kaki depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata dengan menuntun kendaraan sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di tengah hari. Maka, binasalah orang yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang yang memperbesar masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”

“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770).

Ditengah isu keji ini merebak dan menjerumuskan sebagian kaum mukminin di Madinah ke dalam dosa dan kesalahan, ada sepasang suami istri yang selamat dari sikap menuduh ini. Mereka berdua adalah Ummu Ayyub dan suaminya Abu Ayyub Al Anshari.

Imam Ibnu Katsir menukilkan riwayat bahwa Abu Ayyub ditanya oleh Istrinya Ummu Ayyub, “Apakah engkau percaya berita tersebut?” Abu Ayyub menjawab, “Tidak. Itu berita bohong. Apakah engkau mempercayainya juga?”. Ummi Ayyub menjawab, “Tidak. Aku tidak percaya. Aisyah lebih baik dariku.” Artinya, mustahil Aisyah akan melakukannya.

Selamatlah mereka berdua sekeluarga dari perbuatan dosa. Dan menjadi terpujilah keduanya seperti dalam ayat 12 surah An-Nur.

لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ.

Artinya: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (An-Nur [24]:12).

Ketika kita berprasangka buruk terhadap orang lain, sebenarnya kita sedang berprasangka buruk terhadap diri kita sendiri. Karena ketika kita berprasangka buruk, maka kita akan membayangkan jika kita berada di posisi seseorang yang kitta prasangkakan dan kita melakukan hal buruk ketika kita ada di posisi yang sama seperti orang tersebut. Imam Ja'far Shadiq radhiyallahu 'anhu dan Imam Abdullah ibn Al-Mubarak mengatakan,“Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya‘“.

Jadi, sudah seharusnya kita sebagai muslim untuk selalu berprasangka baik terhadap sesama manusia. Sebab dengan berprasangka baik dengan sesama berarti kita juga berprasangka baik kepada Allah swt. Berprasangka baik terhadap orang lain mulailah kita tanamkan dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih dahulu.

Wallahu A’lam Bisshawab

Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh