Assalaamu'alaykum Kawan Rohis!
Semoga teman-teman selalu dalam lindungan Allah Ta'ala ya! Kali ini kita akan kupas tuntas, apakah mengisi Mutaba'ah yaumiyah termasuk dalam perbuatan riya'? Yuk, simak penjelasannya sebagai berikut.
Imam Al-Bukhari rahimahullah di
dalam kitab shahihnya berkata, Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam (bersabda),
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْيَمِينُهُ
“Dan seseorang yang bershadaqah
lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang
dilakukan tangan kanannya”
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا
هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan
sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya
dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).
Ath -Thabarani meriwayatkan dalam
“Al-Kabir (1018)”, dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن صدقة السر تطفئ غضب الرب
“Sesungguhnya shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi
memadamkan murka Ar-Rabb (Allah)” (Syaikh Al-Albani menshahihkan Hadits ini
dalam “Ash-Shahihah 1908”).
Imam At-Tirmidzi (2919)
meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya
telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ
بِالصَّدَقَةِ ، وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّبِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al-Qur`an
dengan suara keras seperti orang yang menampakkan shadaqah, dan orang yang
membaca Al-Qur`an dengan suara pelan seperti orang yang bershadaqoh secara
sembunyi-sembunyi”.
Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Bani dalam Shahih At-Tirmidzi. Imam At-Tirmidzi berkata,“makna Hadits
ini adalah orang yang memelankan suara dalam membaca Al-Qur`an lebih utama
daripada orang yang mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur`an karena shadaqah
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari shadaqah yang
dilakukan secara terang-terangan, demikian kesimpulan Ulama.”
Ulama menjelaskan maksud hal itu
adalah agar seseorang yang melakukan amal shalih aman dari penyakit ‘ujub
(membanggakan amal) karena orang yang menyembunyikan amal tidak terlalu
khawatir terhadap serangan ‘ujub, beda jika ia menampakannya, ketika itu
penyakit tersebut lebih dikhawatirkan menyerangnya. Namun, selama ada
maslahat syar’i dalam menampakkan amal shalih, seperti agar dicontoh oleh orang
lain dan mendorong mereka untuk melakukan kebaikan, serta bersih dari riya` dan
mencari popularitas, maka tidak mengapa dikeraskan/dinampakkan (amal shalih
tersebut).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا
وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
‘Jika kalian menampakkan
sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya
dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagi kalian’ (Al-Baqarah: 271).
Di dalam ayat ini terdapat
petunjuk bahwa menyembunyikan shadaqah lebih utama daripada menampakkannya,
karena lebih jauh dari riya` kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu
orang-orang mengikutinya,maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari
sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama, berdasarkan
ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/701).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata
dalam kitab Al-Fath 11/337 :
“Terkadang disunnahkan
menampakkannya -yaitu amal shalih- bagi orang yang menjadi panutan. Jika
tujuannya untuk ditiru dan hal itu diukur sesuai dengan kebutuhan. Ibnu ‘Abdis
Salam berkata, ‘Dikecualikan dari hukum sunnahnya menyembunyikan amal adalah
bagi orang yang menampakkannya dengan niat agar dicontoh atau agar bisa diambil
manfaatnya, seperti penulisan masalah ilmiyyah. Ath-Thabari, Ibnu ‘Umar, Ibnu
Mas’ud dan sekelompok Salafush Shalih berkata, ‘shalat malam di masjid-masjid
mereka dan menampakkan amal shalih mereka dengan niat agar dicontoh.’ Beliau
berkata, ‘Barangsiapa menjadi imam (pemimpin) yang perbuatannya menjadi tauladan,
iapun mengetahui hak Allah atas dirinya, dan mampu menaklukkan syetannya, maka
bagi dia, sama kedudukannya antara amal yang ditampakkan dengan yang
disembunyikan karena kebaikan niatnya. Adapun bagi orang yang bertipe
kebalikannya, maka menyembunyikan amal lebih utama baginya. Atas prinsip inilah
Salafush Shalih melakukan amal shalih”.
Ibnu Hajar Al-Haitami
rahimahullah berkata, “Di dalam menyembunyikan amal shalih ada faidah
keikhlasan dan selamat dari riya`, dan di dalam menampakkannya ada faidah
menjadi suri tauladan dan penyemangat manusia untuk berbuat baik, akan tetapi
terancam serangan riya`, dan Allah memuji kedua sikap ini, Allah ‘Azza Wa Jalla
berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا
هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah
(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan
kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).
Namun Dia memuji sikap menyembunyikan
amal karena bisa selamat dari perusak amal yang besar tersebut, sedangkan
sedikit orang yang bisa selamat darinya. Terkadang sikap menampakkan amal
adalah sesuatu yang terpuji, ketika memang tidak bisa disembunyikan, seperti
jihad, haji, shalat jum’at, dan shalat jama’ah. Maka bentuk menampakkan
amal-amal tersebut adalah dengan bersegera melakukannya dan menampakkan
keinginan melakukannya dengan tujuan menyemangati (orang lain) dengan syarat
tidak terkotori kotoran riya’.
Selain itu, berkata Syaikh Ibnul
‘Utsaimin rahimahullah,
“Termasuk kesempurnaan ikhlas
adalah seseorang bersemangat agar tidak ada orang yang melihat ibadahnya dan
agar ibadahnya kepada Rabbnya tidak diketahui manusia, kecuali jika
menampakkannya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin atau bagi Islam, seperti
jika seseorang itu statusnya sebagai pemimpin yang diikuti dan ia ingin
menunjukkan ibadahnya kepada manusia agar mereka mengambilnya sebagai contoh
bagaimana melakukan ibadah tersebut, atau ia menampakkan ibadah dengan tujuan
ingin dicontoh oleh teman, pengiring, dan sahabat-sahabatnya, maka dalam hal
ini ada kebaikan. Maslahat-maslahat yang memang layak untuk dipilih tersebut,
terkadang lebih utama dan lebih tinggi dari maslahat menyembunyikan amal, oleh
karena itulah Allah ‘Azza Wa Jalla memuji orang-orang yang berinfak dengan
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan juga. Jika memang sembunyi-sembunyi itu
lebih maslahat, lebih bermanfaat bagi hati, dan lebih khusyu’ serta lebih bisa kembali kepada Allah, maka mereka
menyembunyikannya, sedangkan jika menampakkan amal ada maslahatnya bagi Islam
dalam bentuk nampak semarak syariat-Nya (diterapkan) dan bagi kaum muslimin
bisa mencontohnya, maka mereka akan menampakannya. Seorang mukmin hendaklah
melihat apa yang paling bermanfaat (baginya), kapan saja sesuatu itu lebih
bermaslahat dan lebih bermanfaat pengaruhnya dalam peribadatan, maka hal itu
lebih sempurna dan lebih utama” (Majmu’ Fatawa dan Risalah Ibnul ‘Utsaimin:
3/165).
Jadi kita bisa mengambil kesimpulan,
selama suatu amal shalih itu bersih dari kotoran-kotoran tersebut dan
menampakkanya tidak sampai mengganggu orang lain, serta memang mendorong
manusia untuk mencontoh dan mengikuti perbuatan yang baik tersebut hingga
mereka pun bersegera melakukannya –dan hal ini disebabkan karena kedudukan
pelakunya adalah sebagai ulama atau orang-orang yang shalih yang mampu
menggerakkan mereka untuk mencontohnya, maka sikap menampakkan amal ketika itu
adalah sesuatu yang lebih utama karena hal itu merupakan kedudukan para Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ulama pewaris mereka, sedangkan tidaklah mereka
dikhususkan kecuali dengan sesuatu yang paling sempurna, dan karena juga
manfaatnya meluas untuk orang lain, serta berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ يَعْمَلُ بِهَا إلَى يَوْمِالْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memulai
mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya,maka dia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat.
Jika tidak terpenuhi syarat tersebut di atas,maka sikap menyembunyikan amal itu
lebih utama” (Az-Zawajir : 1/118).
Jadi, ketika hal tersebut lebih
bermaslahat bagi kaum muslimin dan tujuannya agar bisa menjadi tauladan bagi
yang lain kita menampakannya, termasuk mutaba’ah yaumiyah karena tujuannya
disini ialah untuk menjadi pendorong ibadah. Riya itu dari dari hati atau bisa
dilihat dibagian pengertian menurut istilah bahwa tergantung dari niat kita.
“Mungkin ketika kita awal beramal
100 dolar, akan mucul Riya dihati, tapi ketika kita melakukannya berulang lama
kelamaan hal tersebut akan berubah menjadi ikhlas karena pengulangan atau
habits, kebiasaan. Akan tetapi jika kita tidak memulai kapan kita akan
berbuat?”
-Ust. Felix Siaw-
"Menolak untuk melakukan sesuatu
yang baik karena takut dianggap sombong adalah kesombongan." -Mario Teguh-
Yap musuh islam saat ini sudah show
off kehebatan mereka dengan hal-hal yang tentu kurang baik bagi pemuda-pemudi
islam yang merusak moral, pikiran, bahkan perilaku dan mindset. Jika kita hanya
diam dan berdalih tidak mau sombong atau riya’ untuk memberi tauladan, bagaimana
pertanggung jawaban kita kelak ketika Allah Ta’ala menannyakan tentang ilmu dan
pengetahuan tentang Islam yang telah diberikan kepada kita?
Apalagi mutaba'ah yaumiyah
adalah satu produk yang berada dalam sistem, bukan individu yang show off, dimana terdapat seorang pemimpin yang disana harus ditaati
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِمِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS.
An Nisa’ [4]: 59)
Demikian pembahasan tentang Mutaba'ah Yaumiyah dan hubungannya dengan sifat riya'. Semoga teman-teman bisa mengambil hikmahnya, dan selalu meniatkan segala sesuatunya karena Allah semata.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh
0 komentar:
Post a Comment