Tuesday 14 July 2020

Mutaba'ah Yaumiyah dan Sifat Riya' (PART 2)



Assalaamu'alaykum Kawan Rohis! 
Semoga teman-teman selalu dalam lindungan Allah Ta'ala ya! Kali ini kita akan kupas tuntas, apakah mengisi Mutaba'ah yaumiyah termasuk dalam perbuatan riya'? Yuk, simak penjelasannya sebagai berikut.

Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab shahihnya berkata, Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (bersabda),

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْيَمِينُهُ
“Dan seseorang yang bershadaqah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya”

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).

Ath -Thabarani meriwayatkan dalam “Al-Kabir (1018)”, dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن صدقة السر تطفئ غضب الرب
“Sesungguhnya shadaqah  yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi memadamkan murka Ar-Rabb (Allah)” (Syaikh Al-Albani menshahihkan Hadits ini dalam “Ash-Shahihah 1908”).

Imam At-Tirmidzi (2919) meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ ، وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّبِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara keras seperti orang yang menampakkan shadaqah, dan orang yang membaca Al-Qur`an dengan suara pelan seperti orang yang bershadaqoh secara sembunyi-sembunyi”.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam Shahih At-Tirmidzi. Imam At-Tirmidzi berkata,“makna Hadits ini adalah orang yang memelankan suara dalam membaca Al-Qur`an lebih utama daripada orang yang mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur`an karena shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari shadaqah yang dilakukan secara terang-terangan, demikian kesimpulan Ulama.”

Ulama menjelaskan maksud hal itu adalah agar seseorang yang melakukan amal shalih aman dari penyakit ‘ujub (membanggakan amal) karena orang yang menyembunyikan amal tidak terlalu khawatir terhadap serangan ‘ujub, beda jika ia menampakannya, ketika itu penyakit tersebut lebih dikhawatirkan menyerangnya. Namun, selama ada maslahat syar’i dalam menampakkan amal shalih, seperti agar dicontoh oleh orang lain dan mendorong mereka untuk melakukan kebaikan, serta bersih dari riya` dan mencari popularitas, maka tidak mengapa dikeraskan/dinampakkan (amal shalih tersebut).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
‘Jika kalian menampakkan sedekah(kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian’ (Al-Baqarah: 271).
Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa menyembunyikan shadaqah lebih utama daripada menampakkannya, karena lebih jauh dari riya` kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu orang-orang mengikutinya,maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama, berdasarkan ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/701).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Fath 11/337 :
“Terkadang disunnahkan menampakkannya -yaitu amal shalih- bagi orang yang menjadi panutan. Jika tujuannya untuk ditiru dan hal itu diukur sesuai dengan kebutuhan. Ibnu ‘Abdis Salam berkata, ‘Dikecualikan dari hukum sunnahnya menyembunyikan amal adalah bagi orang yang menampakkannya dengan niat agar dicontoh atau agar bisa diambil manfaatnya, seperti penulisan masalah ilmiyyah. Ath-Thabari, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan sekelompok Salafush Shalih berkata, ‘shalat malam di masjid-masjid mereka dan menampakkan amal shalih mereka dengan niat agar dicontoh.’ Beliau berkata, ‘Barangsiapa menjadi imam (pemimpin) yang perbuatannya menjadi tauladan, iapun mengetahui hak Allah atas dirinya, dan mampu menaklukkan syetannya, maka bagi dia, sama kedudukannya antara amal yang ditampakkan dengan yang disembunyikan karena kebaikan niatnya. Adapun bagi orang yang bertipe kebalikannya, maka menyembunyikan amal lebih utama baginya. Atas prinsip inilah Salafush Shalih melakukan amal shalih”.
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata, “Di dalam menyembunyikan amal shalih ada faidah keikhlasan dan selamat dari riya`, dan di dalam menampakkannya ada faidah menjadi suri tauladan dan penyemangat manusia untuk berbuat baik, akan tetapi terancam serangan riya`, dan Allah memuji kedua sikap ini, Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَخَيْرٌ لَكُمْ
”Jika kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian” (Al-Baqarah: 271).

Namun Dia memuji sikap menyembunyikan amal karena bisa selamat dari perusak amal yang besar tersebut, sedangkan sedikit orang yang bisa selamat darinya. Terkadang sikap menampakkan amal adalah sesuatu yang terpuji, ketika memang tidak bisa disembunyikan, seperti jihad, haji, shalat jum’at, dan shalat jama’ah. Maka bentuk menampakkan amal-amal tersebut adalah dengan bersegera melakukannya dan menampakkan keinginan melakukannya dengan tujuan menyemangati (orang lain) dengan syarat tidak terkotori kotoran riya’.

Selain itu, berkata Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah,
“Termasuk kesempurnaan ikhlas adalah seseorang bersemangat agar tidak ada orang yang melihat ibadahnya dan agar ibadahnya kepada Rabbnya tidak diketahui manusia, kecuali jika menampakkannya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin atau bagi Islam, seperti jika seseorang itu statusnya sebagai pemimpin yang diikuti dan ia ingin menunjukkan ibadahnya kepada manusia agar mereka mengambilnya sebagai contoh bagaimana melakukan ibadah tersebut, atau ia menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dicontoh oleh teman, pengiring, dan sahabat-sahabatnya, maka dalam hal ini ada kebaikan. Maslahat-maslahat yang memang layak untuk dipilih tersebut, terkadang lebih utama dan lebih tinggi dari maslahat menyembunyikan amal, oleh karena itulah Allah ‘Azza Wa Jalla memuji orang-orang yang berinfak dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan juga. Jika memang sembunyi-sembunyi itu lebih maslahat, lebih bermanfaat bagi hati, dan lebih khusyu’ serta  lebih bisa kembali kepada Allah, maka mereka menyembunyikannya, sedangkan jika menampakkan amal ada maslahatnya bagi Islam dalam bentuk nampak semarak syariat-Nya (diterapkan) dan bagi kaum muslimin bisa mencontohnya, maka mereka akan menampakannya. Seorang mukmin hendaklah melihat apa yang paling bermanfaat (baginya), kapan saja sesuatu itu lebih bermaslahat dan lebih bermanfaat pengaruhnya dalam peribadatan, maka hal itu lebih sempurna dan lebih utama” (Majmu’ Fatawa dan Risalah Ibnul ‘Utsaimin: 3/165).

Jadi kita bisa mengambil kesimpulan, selama suatu amal shalih itu bersih dari kotoran-kotoran tersebut dan menampakkanya tidak sampai mengganggu orang lain, serta memang mendorong manusia untuk mencontoh dan mengikuti perbuatan yang baik tersebut hingga mereka pun bersegera melakukannya –dan hal ini disebabkan karena kedudukan pelakunya adalah sebagai ulama atau orang-orang yang shalih yang mampu menggerakkan mereka untuk mencontohnya, maka sikap menampakkan amal ketika itu adalah sesuatu yang lebih utama karena hal itu merupakan kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama pewaris mereka, sedangkan tidaklah mereka dikhususkan kecuali dengan sesuatu yang paling sempurna, dan karena juga manfaatnya meluas untuk orang lain, serta berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ يَعْمَلُ بِهَا إلَى يَوْمِالْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang memulai mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya,maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat. Jika tidak terpenuhi syarat tersebut di atas,maka sikap menyembunyikan amal itu lebih utama” (Az-Zawajir : 1/118).
Jadi, ketika hal tersebut lebih bermaslahat bagi kaum muslimin dan tujuannya agar bisa menjadi tauladan bagi yang lain kita menampakannya, termasuk mutaba’ah yaumiyah karena tujuannya disini ialah untuk menjadi pendorong ibadah. Riya itu dari dari hati atau bisa dilihat dibagian pengertian menurut istilah bahwa tergantung dari niat kita.

“Mungkin ketika kita awal beramal 100 dolar, akan mucul Riya dihati, tapi ketika kita melakukannya berulang lama kelamaan hal tersebut akan berubah menjadi ikhlas karena pengulangan atau habits, kebiasaan. Akan tetapi jika kita tidak memulai kapan kita akan berbuat?”
-Ust. Felix Siaw-

"Menolak untuk melakukan sesuatu yang baik karena takut dianggap sombong adalah kesombongan." -Mario Teguh-     

Yap musuh islam saat ini sudah show off kehebatan mereka dengan hal-hal yang tentu kurang baik bagi pemuda-pemudi islam yang merusak moral, pikiran, bahkan perilaku dan mindset. Jika kita hanya diam dan berdalih tidak mau sombong atau riya’ untuk memberi tauladan, bagaimana pertanggung jawaban kita kelak ketika Allah Ta’ala menannyakan tentang ilmu dan pengetahuan tentang Islam yang telah diberikan kepada kita?
Apalagi mutaba'ah yaumiyah adalah satu produk yang berada dalam sistem, bukan individu yang show off, dimana terdapat seorang pemimpin yang disana harus ditaati
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِمِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]: 59)


Demikian pembahasan tentang Mutaba'ah Yaumiyah dan hubungannya dengan sifat riya'. Semoga teman-teman bisa mengambil hikmahnya, dan selalu meniatkan segala sesuatunya karena Allah semata.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

0 komentar:

Post a Comment