Monday 3 August 2020

Agar Kita Selalu Berprasangka Baik

Assalaamu'alaykum ikhwah fillah!

Segala isi hati kita dapat bernilai ibadah maupun maksiat kepada Allah swt. Sebagian besar maksiat jasmani atau badan diawali dari maksiat hati. Jika hati sudah lalai dari mengingat Allah swt. maka kemudian ia akan mengikuti hawa nafsu, yang membawa kepada perbuatan yang melampaui batas. Dalil naqlinya ada pada Q.S Al-Kahfi: 28

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati         batas.”

Maka isilah hati kita dengan niat-niat yang baik. Lantas bagaimana dengan prasangka yang kita miliki? Prasangka-prasangka akan terkait dengan kebersihan hati kita. Seperti statement Imam Syafi’i berikut.

"Barangsiapa menginginkan hatinya menjadi suci, maka hendaklah dia memperbagus prasangkanya kepada sesama manusia"

Salah satu yang dapat mengotori hati kita (manusia) yaitu mendengar cerita-cerita tentang keburukan orang lain. Dampaknya berbahaya, diantaranya kita menjadi meremehkan orang lain, menganggap rendah, dan mendapat dosa ghibah. Oleh karena itu, jika kita mendengar atau membicarakan keburukan orang lain, maka segera memohon ampun kepada Allah swt. dengan beristighfar.

Cara berprasangka baik terhadap orang lain menurut Al-Qur'an, yaitu dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih dahulu. Seperti yang disebutkan Allah swt. dalam Q.S An-Nur ayat 11, seperti berikut.

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ ۚ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang       besar.”

Dibalik ayat ini terdapat kisah menarik ketika Aisyah radhiyallahu 'anha dituduh berselingkuh. Lengkapnya kisah dalam hadits sebagai berikut.

Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, “Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka, siapa saja di antara mereka yang keluar undiannya, maka dialah yang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau ikuti. Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) lalu berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali dari perang tersebut.

Ketika telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan keperluanku. Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba dadaku, ternyata kalungku dari merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi untuk mencari kalungku, sementara rombongan yang tadi membawaku telah siap berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan memberangkatkannya di atas untaku yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa aku berada di dalamnya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Pada masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup yang ringan ketika mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa mereka akan merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”

“Ketika sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di belakang para tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam sosok seseorang, lantas ia menghampiriku. Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia pernah melihatku sebelum ayat hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya (bacaan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun dari mulutnya selain ucapan istirja’ sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu ia memijak kaki depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata dengan menuntun kendaraan sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di tengah hari. Maka, binasalah orang yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang yang memperbesar masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”

“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770).

Ditengah isu keji ini merebak dan menjerumuskan sebagian kaum mukminin di Madinah ke dalam dosa dan kesalahan, ada sepasang suami istri yang selamat dari sikap menuduh ini. Mereka berdua adalah Ummu Ayyub dan suaminya Abu Ayyub Al Anshari.

Imam Ibnu Katsir menukilkan riwayat bahwa Abu Ayyub ditanya oleh Istrinya Ummu Ayyub, “Apakah engkau percaya berita tersebut?” Abu Ayyub menjawab, “Tidak. Itu berita bohong. Apakah engkau mempercayainya juga?”. Ummi Ayyub menjawab, “Tidak. Aku tidak percaya. Aisyah lebih baik dariku.” Artinya, mustahil Aisyah akan melakukannya.

Selamatlah mereka berdua sekeluarga dari perbuatan dosa. Dan menjadi terpujilah keduanya seperti dalam ayat 12 surah An-Nur.

لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ.

Artinya: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (An-Nur [24]:12).

Ketika kita berprasangka buruk terhadap orang lain, sebenarnya kita sedang berprasangka buruk terhadap diri kita sendiri. Karena ketika kita berprasangka buruk, maka kita akan membayangkan jika kita berada di posisi seseorang yang kitta prasangkakan dan kita melakukan hal buruk ketika kita ada di posisi yang sama seperti orang tersebut. Imam Ja'far Shadiq radhiyallahu 'anhu dan Imam Abdullah ibn Al-Mubarak mengatakan,“Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya‘“.

Jadi, sudah seharusnya kita sebagai muslim untuk selalu berprasangka baik terhadap sesama manusia. Sebab dengan berprasangka baik dengan sesama berarti kita juga berprasangka baik kepada Allah swt. Berprasangka baik terhadap orang lain mulailah kita tanamkan dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih dahulu.

Wallahu A’lam Bisshawab

Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

0 komentar:

Post a Comment