Assalaamu'alaykum ikhwah fillah!
Segala
isi hati kita dapat bernilai ibadah maupun maksiat kepada Allah swt. Sebagian
besar maksiat jasmani atau badan diawali dari maksiat hati. Jika hati sudah
lalai dari mengingat Allah swt. maka kemudian ia akan mengikuti hawa nafsu,
yang membawa kepada perbuatan yang melampaui batas. Dalil naqlinya ada pada Q.S
Al-Kahfi: 28
وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا
Artinya: “Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Maka isilah
hati kita dengan niat-niat yang baik. Lantas bagaimana dengan prasangka yang
kita miliki? Prasangka-prasangka akan terkait dengan kebersihan hati kita.
Seperti statement Imam Syafi’i berikut.
"Barangsiapa
menginginkan hatinya menjadi suci, maka hendaklah dia memperbagus prasangkanya
kepada sesama manusia"
Salah
satu yang dapat mengotori hati kita (manusia) yaitu mendengar cerita-cerita
tentang keburukan orang lain. Dampaknya berbahaya, diantaranya kita menjadi
meremehkan orang lain, menganggap rendah, dan mendapat dosa ghibah. Oleh karena
itu, jika kita mendengar atau membicarakan keburukan orang lain, maka segera memohon
ampun kepada Allah swt. dengan beristighfar.
Cara
berprasangka baik terhadap orang lain menurut Al-Qur'an, yaitu dengan
berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih dahulu. Seperti yang
disebutkan Allah swt. dalam Q.S An-Nur ayat 11, seperti berikut.
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ ۚ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
Dibalik
ayat ini terdapat kisah menarik ketika Aisyah radhiyallahu 'anha dituduh
berselingkuh. Lengkapnya kisah dalam hadits sebagai berikut.
Aisyah
radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan,
“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk
melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka,
siapa saja di antara mereka yang keluar undiannya, maka dialah yang keluar
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Aisyah
radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau
ikuti. Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab
diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) lalu berjalan
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali dari perang
tersebut.
Ketika
telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar
berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan
keperluanku. Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba
dadaku, ternyata kalungku dari merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi
untuk mencari kalungku, sementara rombongan yang tadi membawaku telah siap
berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan memberangkatkannya di atas untaku
yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa aku berada di dalamnya.
Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Pada
masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak
daging. Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup
yang ringan ketika mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku
masih sangat belia. Mereka membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan
kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka.
Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku
bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa mereka akan
merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”
“Ketika
sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun
tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di
belakang para tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke
tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam sosok seseorang, lantas ia menghampiriku.
Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia pernah melihatku sebelum ayat
hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya (bacaan Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab.
Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun
dari mulutnya selain ucapan istirja’ sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu
ia memijak kaki depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata
dengan menuntun kendaraan sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah
mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di tengah hari. Maka, binasalah orang
yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang yang memperbesar
masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”
“Kemudian
kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama
sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak
tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa
sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya
masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang
membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum
aku keluar rumah.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan
Muslim, no. 2770).
Ditengah
isu keji ini merebak dan menjerumuskan sebagian kaum mukminin di Madinah ke
dalam dosa dan kesalahan, ada sepasang suami istri yang selamat dari sikap
menuduh ini. Mereka berdua adalah Ummu Ayyub dan suaminya Abu Ayyub Al Anshari.
Imam
Ibnu Katsir menukilkan riwayat bahwa Abu Ayyub ditanya oleh Istrinya Ummu
Ayyub, “Apakah engkau percaya berita tersebut?” Abu Ayyub menjawab, “Tidak. Itu
berita bohong. Apakah engkau mempercayainya juga?”. Ummi Ayyub menjawab,
“Tidak. Aku tidak percaya. Aisyah lebih baik dariku.” Artinya, mustahil Aisyah
akan melakukannya.
Selamatlah
mereka berdua sekeluarga dari perbuatan dosa. Dan menjadi terpujilah keduanya
seperti dalam ayat 12 surah An-Nur.
لَّوْلَآ
إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ
ظَنَّ
ٱلْمُؤْمِنُونَ
وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ
بِأَنفُسِهِمْ
خَيْرًا
وَقَالُوا۟
هَٰذَآ
إِفْكٌ
مُّبِينٌ.
Artinya:
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan
mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (An-Nur [24]:12).
Ketika kita berprasangka buruk terhadap orang lain, sebenarnya kita sedang berprasangka buruk terhadap diri kita sendiri. Karena ketika kita berprasangka buruk, maka kita akan membayangkan jika kita berada di posisi seseorang yang kitta prasangkakan dan kita melakukan hal buruk ketika kita ada di posisi yang sama seperti orang tersebut. Imam Ja'far Shadiq radhiyallahu 'anhu dan Imam Abdullah ibn Al-Mubarak mengatakan,“Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, ‘Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya‘“.
Jadi,
sudah seharusnya kita sebagai muslim untuk selalu berprasangka baik terhadap
sesama manusia. Sebab dengan berprasangka baik dengan sesama berarti kita juga
berprasangka baik kepada Allah swt. Berprasangka baik terhadap orang lain
mulailah kita tanamkan dengan berprasangka baik terhadap diri sendiri terlebih
dahulu.
Wallahu
A’lam Bisshawab
0 komentar:
Post a Comment