Monday 24 August 2020

Nasionalisme dan Kecintaan Pada Tanah Air

 Bertema Indonesia Maju, Logo Peringatan HUT Ke-75 Kemerdekaan RI ...

Assalaamu’alaykum teman-teman!

Pada 17 Agustus yang lalu, kita telah merayakan Dirgahayu Republik Indonesia ke-75 ya, teman-teman. Tentunya kita sudah sering mendengar kata ‘nasionalisme’ dan ‘cinta tanah air’ bukan? Nasionalisme dan cinta tanah air ternyata merupakan dua hal yang cukup berbeda lho, teman-teman. Apa saja perbedaannya? Mari kita simak penjelasan dibawah ini, yaa.

Pada dasarnya, cinta tanah air sama halnya cinta jiwa dan harta. Sifat ini merupakan tabiat dan fitrah manusia. Seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin. Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُ مِّنْهُمُْ

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66).

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.

Bahkan di dalam Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi kita untuk jihad membela negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika negeri tersebut memiliki keistimewaan, maka mencintainya adalah sebuah ibadah seperti Mekkah dan Madinah.

Namun jika cinta negeri bertentangan dengan perintah agama seperti hijrah dan jihad, sehingga dia lebih mendahulukan cinta negeri daripada agama maka hukumnya haram. Allah mengancam orang-orang yang tidak hijrah karena lebih mencintai kampung halaman mereka.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 97-98).

Walau cinta tanah air tidak tercela, namun tidak boleh kita membuat dan berpegang dengan hadits palsu:

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

“Cinta tanah air termasuk iman”.

Al Mulla Al Qari berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits”.

Musuh-musuh Islam ingin menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun.

Dan agar kecintaan negeri kita tidak sia-sia tanpa pahala, maka hendaknya kita menata niat dalam kecintaan dan pembelaan kita kepada negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah, untuk Islam, bukan sekedar untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.

Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata:

“Apabila kita perang hanya untuk membela negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela negara mereka. Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita.

Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita.

Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits ‘cinta negeri termasuk keimanan’ maka ini adalah dusta. Cinta tanah air, apabila karena negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena terdapat umat Islamnya yang merupakan saudara kita seagama, tidak ada bedanya apakah negara kelahiran kita atau Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena negara Islam.

Jadi, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela negara kita karena negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara saja”.

Lalu, bagaimana dengan nasionalisme? Nasionalisme berasal dari kata nasional atau nation (bahasa Inggris) yang artinya bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang diam di wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemauan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita dan tujuan. Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan semangat kebangsaan, yaitu semangat cinta kepada bangsa dan negara. Suatu paham yang menyadarkan harga diri suatu kelompok masyarakat sebagai suatu bangsa.

Dengan kata lain, nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi seseorang ditujukan kepada negara kebangsaannya. Lahirnya paham nasionalisme diikuti dengan terbentuknya negara-negara kebangsaan yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi dan agama. Akan tetapi paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan.


Sikap nasionalisme memang penting, jauh dari itu wajib bagi umat Islam mengikuti petunjuk Al- Qur’an adalah mutlak. Maka dari itu Islam mempunyai pandangan sendiri tentang nasionalisme. Mungkinkah kita menjadi muslim taat, sekaligus nasionalis sejati pada saat yang bersamaan? Jawaban ini sangat tergantung kepada definisi, persepsi dan penghayatan kita atas makna nasionalisme itu sendiri. Karena dari sinilah al-Maududi, seorang tokoh Islam Pakistan (1903-1979), misalnya, berbeda pendapat dengan tokoh pendiri IM (Ikhwan al-Muslimin), Hasan al-Bana (1906-1949). Al-Bana dalam Risalah Al-Mu’tamar al-Khamis nya, mengatakan, “Relasi antara Islam dan Nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau kontradiktif. Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti anti-nasionalisme”. Sebaliknya al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam, karena ia adalah pemikiran orang barat dan hanya membuat pecah-belah umat Islam.

Nasionalisme dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa bukan hanya tidak bertentangan, tapi juga bagian tak terpisahkan dari Islam. Artinya, kita bisa menjadi muslim taat, plus seorang nasionalis sejati. Para ilmuwan muslim memberikan ruh Islam di dalamnya sehingga nasionalisme itu benar-benar dapat selaras dengan Islam. Sebagaimana Dr. Zaid Abdul Karim dalam bukunya Hubbul Wathan, menulis: “Nasionalisme adalah tanggung jawab individu terhadap negaranya yang bersesuaian dengan ajaran Islam”. Definisi ini meniscayakan nasionalisme tidak boleh melampaui ikatan agama. Dan nasionalisme harus dalam koridor dan bingkai agama. Seperti halnya dalil dibawah ini:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan…” (QS. al Baqarah: 84-85).

“Sungguh engkau, Makkah, adalah negeri paling indah dan paling aku cintai. Kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selainmu” (HR. Tirmidzi dan al-Hakim).

Dari beberapa ayat dan hadis di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kecintaan dan loyalitas terhadap agama haruslah berada di atas kecintaan dan loyalitas terhadap negara. Tetapi pada tataran praktis, nasionalisme dan kecintaan terhadap negara tidak hanya selaras dengan cita-cita agama, bahkan menjadi wujud serta implementasi dari loyalitas dan kecintaan terhadap agama.

Pernyataan lain tentang Islam dan nasionalisme Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme, karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan yang universal. Selain itu, karena semangat nasionalisme berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Ali Muhammad Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya, saat nasionalisme bangkit berarti kekalahan Islam (Hermawan, 2007).

Dari penjelasan diatas memang sebaiknya umat Islam sebagai orang yang beragama dan sebagai warga negara Indonesia harus memiliki sikap yang baik dalam menyikapi beberapa hal yang kondtradiktif antara nasionalisme dan Islam. Dalam Q.S Al-Maidah: 51 yang artinya:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Dalam ayat tersebut ummat Islam perlu memperhatikan agama seorang yang akan memimpinnya dan sebagai warga negara Indonesia dengan sistem demokrasi. Hal tersebut tidak menjadi masalah maka ketika umat Islam lebih mementingkan atau mendahulukan dalil dari Al-Qur’an, hal tersebut bukanlah suatu sikap antinasionalis. Tetapi itu adalah suatu prinsip yang berhak dipegang oleh pemeluknya, sama halnya ketika di Bali masyarakatnya mayoritas Hindu jika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Hindu maka itu adalah prinsip mereka. Hal itu bukan hal anti-nasionalis. Contoh lain Papua yang mayoritas warganya beragama Nasrani, maka ketika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Nasrani maka itu juga hak dan prinsip mereka dan bukan sikap anti-nasionalis.

Kesimpulan

Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan itu masyarakat suatu bangsa akan merasakan adanya kesetiaan yang mendalam kepada bangsa itu sendiriNasionalisme diperlukan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pada umat Islam, akan tetapi jika ada hal yang kontradiktif antara sikap nasionalisme atau toleransi dengan ajaran Islam itu sendiri maka agama harus didahulukan dengan tidak mengartikan anti-nasionalisme.

Wallahu A’lam Bisshawab.

Wassalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh.

0 komentar:

Post a Comment