Assalaamu’alaykum
teman-teman!
Pada 17 Agustus
yang lalu, kita telah merayakan Dirgahayu Republik Indonesia ke-75 ya,
teman-teman. Tentunya kita sudah sering mendengar kata ‘nasionalisme’ dan
‘cinta tanah air’ bukan? Nasionalisme dan cinta tanah air ternyata merupakan
dua hal yang cukup berbeda lho, teman-teman. Apa saja perbedaannya? Mari
kita simak penjelasan dibawah ini, yaa.
Pada dasarnya, cinta
tanah air sama halnya cinta jiwa dan harta. Sifat ini merupakan tabiat dan
fitrah manusia. Seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia
kafir maupun mukmin. Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا
كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم
مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُ مِّنْهُمُْ
“Dan
sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau
keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali
sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa’: 66).
Ayat ini
menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka.
Bahkan di dalam
Islam, jika negeri kita diserang musuh, wajib bagi kita untuk jihad membela
negeri dari serangan tersebut. Apalagi, jika negeri tersebut memiliki
keistimewaan, maka mencintainya adalah sebuah ibadah seperti Mekkah dan
Madinah.
Namun jika cinta negeri
bertentangan dengan perintah agama seperti hijrah dan jihad, sehingga dia lebih
mendahulukan cinta negeri daripada agama maka hukumnya haram. Allah mengancam
orang-orang yang tidak hijrah karena lebih mencintai kampung halaman mereka.
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا
مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً
فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka
menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para
malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau
wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui
jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 97-98).
Walau cinta tanah
air tidak tercela, namun tidak boleh kita membuat dan berpegang dengan hadits
palsu:
حُبُّ الْوَطَنِ
مِنَ الإِيْمَانِ
“Cinta tanah air
termasuk iman”.
Al Mulla Al Qari
berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”. Lajnah Daimah yang
diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Ucapan ini bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah
ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits”.
Musuh-musuh Islam
ingin menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat
dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih
berharga baginya dari segala apapun.
Dan agar kecintaan
negeri kita tidak sia-sia tanpa pahala, maka hendaknya kita menata niat dalam
kecintaan dan pembelaan kita kepada negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah,
untuk Islam, bukan sekedar untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.
Syaikh Muhammad
al-Utsaimin berkata:
“Apabila kita perang hanya untuk membela negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela negara mereka. Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita.
Perhatikanlah baik-baik
perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita.
Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits ‘cinta negeri termasuk keimanan’ maka ini adalah dusta. Cinta tanah air, apabila karena negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena terdapat umat Islamnya yang merupakan saudara kita seagama, tidak ada bedanya apakah negara kelahiran kita atau Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena negara Islam.
Jadi, seharusnya kita
mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di
negeri kita atau membela negara kita karena negara Islam, bukan hanya karena
sekedar Negara saja”.
Lalu, bagaimana dengan
nasionalisme? Nasionalisme berasal dari kata nasional atau nation (bahasa
Inggris) yang artinya bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang diam di wilayah
tertentu dan memiliki hasrat serta kemauan untuk bersatu, karena adanya
persamaan nasib, cita-cita dan tujuan. Dengan demikian nasionalisme dapat
diartikan semangat kebangsaan, yaitu semangat cinta kepada bangsa dan negara.
Suatu paham yang menyadarkan harga diri suatu kelompok masyarakat sebagai suatu
bangsa.
Dengan kata lain, nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi seseorang ditujukan kepada negara kebangsaannya. Lahirnya paham nasionalisme diikuti dengan terbentuknya negara-negara kebangsaan yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi dan agama. Akan tetapi paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan.
Sikap nasionalisme
memang penting, jauh dari itu wajib bagi umat Islam mengikuti petunjuk Al- Qur’an
adalah mutlak. Maka dari itu Islam mempunyai pandangan sendiri tentang
nasionalisme. Mungkinkah kita menjadi muslim taat, sekaligus nasionalis sejati
pada saat yang bersamaan? Jawaban ini sangat tergantung kepada definisi,
persepsi dan penghayatan kita atas makna nasionalisme itu sendiri. Karena dari
sinilah al-Maududi, seorang tokoh Islam Pakistan (1903-1979), misalnya, berbeda
pendapat dengan tokoh pendiri IM (Ikhwan al-Muslimin), Hasan al-Bana
(1906-1949). Al-Bana dalam Risalah Al-Mu’tamar al-Khamis nya, mengatakan,
“Relasi antara Islam dan Nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau
kontradiktif. Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti anti-nasionalisme”.
Sebaliknya al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam,
karena ia adalah pemikiran orang barat dan hanya membuat pecah-belah umat
Islam.
Nasionalisme
dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan
kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa bukan hanya tidak bertentangan, tapi juga
bagian tak terpisahkan dari Islam. Artinya, kita bisa menjadi muslim taat, plus
seorang nasionalis sejati. Para ilmuwan muslim memberikan ruh Islam di dalamnya
sehingga nasionalisme itu benar-benar dapat selaras dengan Islam. Sebagaimana
Dr. Zaid Abdul Karim dalam bukunya Hubbul Wathan, menulis: “Nasionalisme adalah
tanggung jawab individu terhadap negaranya yang bersesuaian dengan ajaran
Islam”. Definisi ini meniscayakan nasionalisme tidak boleh melampaui ikatan
agama. Dan nasionalisme harus dalam koridor dan bingkai agama. Seperti halnya
dalil dibawah ini:
“Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan
menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu
(saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya)
sedang kamu mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu
(saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung
halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan…” (QS. al Baqarah: 84-85).
“Sungguh
engkau, Makkah, adalah negeri paling indah dan paling aku cintai. Kalau bukan
karena kaumku mengusirku darimu niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain
selainmu” (HR. Tirmidzi dan al-Hakim).
Dari
beberapa ayat dan hadis di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kecintaan dan
loyalitas terhadap agama haruslah berada di atas kecintaan dan loyalitas
terhadap negara. Tetapi pada tataran praktis, nasionalisme dan kecintaan
terhadap negara tidak hanya selaras dengan cita-cita agama, bahkan menjadi
wujud serta implementasi dari loyalitas dan kecintaan terhadap agama.
Pernyataan
lain tentang Islam dan nasionalisme Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan
bahwa Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme, karena keduanya saling
berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas
sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal,
sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan yang universal. Selain itu, karena semangat
nasionalisme berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama
dan politik. Ali Muhammad Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka
nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya, saat nasionalisme bangkit
berarti kekalahan Islam (Hermawan, 2007).
Dari
penjelasan diatas memang sebaiknya umat Islam sebagai orang yang beragama dan
sebagai warga negara Indonesia harus memiliki sikap yang baik dalam menyikapi
beberapa hal yang kondtradiktif antara nasionalisme dan Islam. Dalam Q.S
Al-Maidah: 51 yang artinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا
تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ
بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا
يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Dalam ayat tersebut ummat Islam perlu memperhatikan agama seorang yang akan memimpinnya dan sebagai warga negara Indonesia dengan sistem demokrasi. Hal tersebut tidak menjadi masalah maka ketika umat Islam lebih mementingkan atau mendahulukan dalil dari Al-Qur’an, hal tersebut bukanlah suatu sikap antinasionalis. Tetapi itu adalah suatu prinsip yang berhak dipegang oleh pemeluknya, sama halnya ketika di Bali masyarakatnya mayoritas Hindu jika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Hindu maka itu adalah prinsip mereka. Hal itu bukan hal anti-nasionalis. Contoh lain Papua yang mayoritas warganya beragama Nasrani, maka ketika warganya ingin memilih pemimpin yang beragama Nasrani maka itu juga hak dan prinsip mereka dan bukan sikap anti-nasionalis.
Kesimpulan
Nasionalisme
adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan
kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan itu
masyarakat suatu bangsa akan merasakan adanya kesetiaan yang mendalam kepada
bangsa itu sendiri. Nasionalisme
diperlukan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pada umat Islam, akan
tetapi jika ada hal yang kontradiktif antara sikap nasionalisme atau toleransi
dengan ajaran Islam itu sendiri maka agama harus didahulukan dengan tidak
mengartikan anti-nasionalisme.
Wallahu A’lam
Bisshawab.
Wassalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh.