Fenomena Lidah didepan
Akal
Assalamu’alaykum
warrahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim.
Ketika
lidah yang lembut dan kenyal itu tak lagi dapat menahan beban tuannya, maka
lahirlah kata-kata tanpa makna yang berserakan keluar dari mulut, bagian dari
pelampiasan hati yang keruh. Ribuan kata itu tersangkut di gendang telinga
orang-orang disekitarnya, mengendap, dan kerap kali menumbuhkan bibit yang ikut
meracuni hati bersih pendengarnya. Umpatan, sumpah serapah, makian dan
kawan-kawannya berbondong keluar dan bersarang di telinga banyak orang, tak
sadar jika satu dua umpatan, sumpah serapah dan makian itu ada yang menjelma
menjadi sebuah sembilu tak kasat mata, yang mana mampu melukai telinga bahkan
hati pendengarnya. Bahkan dalam beberapa kejadian, wujud sembilu itu tak melulu
berupa sumpah serapah, atau makian dan kawan-kawannya. Wujudnya dapat berupa
kata-kata yang sebenarnya baik, namun karena beberapa hal semisal, mood, situasi dan nada bicara bisa juga
melukai orang lain.
Manusia, terutama penulis,
seringkali lupa untuk berkaca, lupa untuk bermuhasabah, merasa tidak perlu
untuk mengoreksi diri sendiri. Merasa diri adalah yang paling benar, merasa
jiwa adalah yang paling suci, dan merasa hati adalah yang paling putih. Tenggelam
dalam ujub yang membanggakan amal kebaikan diri. Tersenyum jumawa saat pujian
manusia datang menghampiri. Lupa dengan segunung dosa yang masih Allah tutupkan
aib-aibnya dari saudara-saudaranya. Lupa bahwa Allah Maha Mendengar segala isi
hati, yang dilisankan secara terang maupun yang tersembunyi.
Zaman ini, saat kebebasan bersuara
menjadi hak yang dimiliki tiap orang, menjadi tameng saat pendapatnya mendapat
kecaman, menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain, menjadi rudal untuk
‘membunuh’ sesama, kata maaf hanya menjadi pemanis bibir yang diobral murah.
Kasus sebesar apapun, senista apapun, sekeji apapun itu yang disyiarkan lewat
media maupun tatap muka dapat dengan mudah tertimbun dengan pemberitaan lain
hanya dengan kata maaf yang disuratkan, hanya dengan menjual airmata dan rasa
iba, lantas kembali bergelut menyiapkan segudang diksi baru untuk menyerang
yang lain. Mereka – mungkin juga penulis –
lupa dengan hakikat ‘maaf’ yang
sebenarnya. Ini zaman dimana orang menulis atau berbicara sesuatu untuk
menciptakan sebuah peristiwa, beda dengan zaman Rasulullah saw., dimana menulis
atau berbicara bertujuan untuk mengabarkan sebuah peristiwa.
Meski begitu, ternyata banyak juga
manusia yang masih memelihara rasa angkuh, mengembang biakkan rasa congkak pun
tinggi hati untuk berucap maaf. Lupa dengan kordratnya manusia sebagai tempat
kesalahan dan kekhilafan bernaung. Lucunya zaman sekarang adalah ada segelintir
orang yang mudah mengobral maaf dan segelintir lainnya merasa tidak perlu,
karena beredar diksi baru yang dijadikan dalih untuk tidak minta maaf. Apa
diksi itu? Jawabannya : “Ah kamu kok baper
sih? Jangan baper kalik. Aku cuma
bercanda”. Pernah mengucapnya? Ya, penulis juga pernah, atau bahkan tanpa
disadari tabiat buruk itu masih lestari dalam diri.
Astaghfirullah ‘aladzim...
Mari sama-sama resapi salah satu
firman Allah dalam Qs. Al – ‘Isra : 36 di bawah ini
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Dalam ayat tersebut
Allah mengingatkan kita untuk tidak sembarang membicarakan suatu perkara tanpa
tahu ilmunya. Karena kelak, saat hari pertanggungjawaban itu tiba, semua indera
kita kecuali mulut akan bersaksi didepan Allah. Mereka akan mengadukan sekecil
apapun perbuatan yang kita lakukan, tanpa bisa kita bantah, tanpa bisa kita
sanggah, apalagi menyiapkan pembelaan. Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti
berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala halaman 47,
bahwasanya :
“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya
daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah,
sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar
daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan
yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan
menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada
menarik perkataan yang terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila
seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.
Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol
perkataan-perkataannya.”
Semoga Allah Ta’ala senantiasa
meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita
taufik untuk mengamalkan perkara yang dicintaiNya dan diridhoiNya. Aamiin
Allahuma aamiin...
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari, Muslim)
mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari, Muslim)
Annisa Aulia Hawari-XI MIA 2
Referensi :
Muslimah.or.id
Almanhaj.or.id
0 komentar:
Post a Comment